HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Orang Kita vs Kepentingan Kita?!?! (sekadar debu-debu tipis di jelang Pilkada-Pilgub) Oleh : Kons Beo, SVD

P. Kons Beo, SVD 

Nusapagi.com || “Pemimpin itu berpikir dan berbicara tentang solusi. Para pengikut-warga masyarakat berpikir dan membicarakan masalah…..”

(Brian tracy, pembicara-motivator Kanada)

Simpang jalan ‘orang kita’

Heraaaan ka? Iya, memang mengherankan. Bayangkan! Orang sendiri, sama-sama se-daerah asal, bahkan sebenarnya masih ada pertalian kekerabatan, atau malah semua pada tahu bahwa ada hubungan keluarga, toh nama calon pemimpin itu tak menggelegar di wilayahnya. Tak sedap di telinga orang-orang seasalnya. Tapi, sudahlah. Apa yang mesti diherankan dalam rana politik? Tiliklah sisi lainnya...

Di tatatan pragmatis, diyakini umum bahwa sang calon bakal ada di atas angin atau melaju kencang di wilayah sendiri. Bisa segera dinantikan bak mesias atau disambut bagai raja. Orang kita mesti jadi pemimpin. Terasa tak sedap bila nantinya ia ‘kalah di kandang’ apalagi jika sampai kalah telak. Bagaimana pun sisi lain perlu disimak.

Sekian banyak suara pun sudah punya rumor. Tak bercondong pada calon tertentu, walau se-daerah asal atau punya hubungan kedekatan begini atau begitu. Bisa jadi itulah imbas dari rasa kecewa, dendam, iri hati, atau kecemburuan sosial yang sulit terbendung. Suara miris mulai berkecipratan, “Dia bakal urus diri, keluarga dan kerabat dekatnya sendiri. Bukan wilayah, daerah atau tempat kita.” Mungkin saja….

Kecewa karena ‘cinta di rana politik’

Ada juga suara yang lebih personal kedengarannya. Dari calon seperti itu, darinya, hanya ada pengalaman diabaikan, dikecewakan, terasa makan hati dan sesak di dada. Apalagi terhadanya, sudah banyak jasa dan kebaikan yang dibaktikan dan dibuktikan. “Kita dapat apa?”

Karena itulah biar pun seasal, se-daerah, se-wilayah atau berkerabatan, biarlah cukup sampai di sini. Rangkaian kata-kata indah walau bernada melankolik pun diperdengarkan, “Lebih baik kecewa karena orang lain, dari pada mesti rasakan kecewa karena orang kita sendiri.” Tetapi, apakah gaung suara beraroma primordialistik itu bakal senyap begitu saja? Pasti tidak!

Masih ada kah asa di balik ‘orang kita?’

“Orang wilayah X mesti memilih calon pemimpin yang berasal dari wilayah X pula.” Katanya itu berpautan dengan harga diri dan harapan masyarakat, misalnya. Gema Putra Daerah tentu mesti dikumandangkan jika memang mesti didudukan di posisi atau jabatan kepemimpinan. Dan di situlah dalil-dalil kualitas perelasian antar warga masyarakat seasal dengan sang calon mesti dihembuskan, demikian pun filosofi kepemimpinan didaur dalam sepetak kearifan lokal. Dan ada kah yang tak senonoh di situ? Tentu tidak!

Bagaimana pun, ada kah jaminan penuh pasti, bahwa sekiranya ‘orang kita yang se-asal jadi pemimpin semuanya bakal jadi aman terkendali?’ Tidak juga! Di panggung kampanye, serial janji-janji ditebarkan. Dibalut kata-kata indah dan manis penuh harapan. Tetapi benar kah bahwa orang kita sendiri pasti akan mewujudkan semua impian seperti yang digaungkan dalam serial janji-janji di momentum kampanye?

Proyeksi integritas diri calon pemimpin

Memajukan daerah atau wilayah tentu bersentuhan dengan kebijakan pemimpin dan pola kepemimpinan. Di situ orang bicara tentang kualitas dan integritas diri dari seorang calon pemimpin. Dan ujung-ujungnya adalah bahwa kepribadian calon pemimpin itu memang layak dipercaya untuk dipilih. Ini tidak sekedar rasa yang datar dan sederhana bahwa ‘orang kita harus menang atau dimenangkan.’ Dan kalau orang kita menang maka harga diri kita sebagai warga seasal akan naik.

Siapa pun tahu Pilkada atau Pilgub bukan bertujuan bahwa dengan menangnya orang kita semuanya bakal beres atau sampai pada rasa harga diri seasal-sedaerah bakal melambung. Inti di balik tujuan Pilkada atau Pilgub adalah bahwa daerah dan masyarakat dalam koridor teritorial regional ada dalam perhatian serius dan penuh komitmen dari seorang pemimpin dalam kepemimpinannya.

Antara Kotak Suara dan Suara-suara keras bebas tak berkotak...

Kita pasti akrab dengan suara-suara pasrah atau reaksi gemuruh para warga, “Di wilayah kami, kondisi jalan raya tetap parah seperti ini. Sudah lama tidak diperbaiki. Kami maklum dan pasrah. Sebab dari wilayah kami ini tidak ada satu wakil pun yang duduk di DPRD, dan bahwa Paket Bupati dan Wakil yang memimpin sekarang ini, kali lalu kalah telak di wilayah kami. Mo bilang apa sudah?” Ini berbeda dengan wilayah tertentu yang menjadi asal duet kepemimpinan. Semuanya tampak serba OK dan maju.

Namun, suara dari wilayah lain lagi terdengar beda bunyinya dan beda kisahnya, “Kami tak punya wakil di DPRD. Gagal Pileg. Dan Duet Bupati dan wakil yang mempimpin ini pun di hari H Pilkada dapat jumlah suara ‘sebatas hitungan jari. Tapi untuk kami jalanan di kampung lumayan lah. Listrik dan air minum itu lancar dan tidak banyak onarnya. Rahasianya sederhana. Sebab warga wilayah kami ini rajin protes dan demo di kantor Bupati dan kantor DPRD.

Makanya, terdengar selentingan suara kocak, “Untuk pilih orangmu sendiri, yang seasal denganmu demi jadi Walikota, Bupati atau Gubernur beserta wakil-wakilnya, jangan lupa datang ke kotak suara pada hari H pemilihan. Tetapi agar wilayahmu maju dan tanpa kesulitan banyak, datanglah langsung rame-rame ke kantor Bupati atau kantor DPRD.....” Wah, gawatlah sudah...

Kontemplasi politik demi aura pemimpin dan kepemimpinan

Bagaimana pun juga kita tetap mengimpikan lahirnya pemimpin dan aura kemimpinan yang berwawasan integral-holistik. Yang berhati nurani penuh komitmen demi pembangunan kawasan yang luas dan menyeluruh. Pilkada, Pilwakot atau Pilgub bukanlah persoalan “atau kami atau kamu” Tetapi ini semua tentang “Kita bersama.” Iya, semuanya “demi Kepentingan serta Kebaikan kita bersama.” 

Dan setiap kita tentu sudah bisa berkontemplasi dalam rana politik untuk ‘melihat tajam dan tembus pandang’ demi citra kelayakan jadi pemimpin dan bagaimana nantinya kepemimpinannya dari para calon kita yang terhormat..

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro - Roma

 



Posting Komentar
Tutup Iklan